Bagaimana Melihat Iran Hari Ini dalam Konteks Sejarah

Oleh: Surya Darma, Lc

Iran menyerang Israel dengan rudal jarak jauh. Dunia Islam pun menyambut dengan suka cita. Umat Sunni menunjukkan simpati, sementara kalangan Syiah menyambutnya dengan euforia. Di Gaza, senyum kecil mungkin terukir melihat rudal negeri Mullah menghantam kawasan Tel Aviv, termasuk sejumlah permukiman dan fasilitas publik.

Kenapa seluruh umat—baik Sunni maupun Syiah—terlihat satu suara menyambut serangan tersebut?

Setidaknya ada dua sebab utama. Pertama, umat Islam telah lama menyaksikan penjajahan, kekejaman, dan arogansi Israel yang mencaplok wilayah Palestina dan merendahkan dunia Muslim. Kedua, rasa frustasi terhadap pemimpin negara-negara Sunni yang hanya mampu mengutuk tanpa tindakan nyata. Simposium digelar, kecaman diumumkan, namun tak satupun langkah militer ataupun strategi politik serius diambil untuk membela Palestina.

Euforia umat terhadap serangan Iran ini mengingatkan saya pada momen 1979, ketika Revolusi Islam Iran menggulingkan Shah yang menjadi simbol boneka Amerika. Saat itu, saya masih duduk di bangku SMP. Saya ingat betul betapa besarnya gelombang semangat umat Islam menyambut peristiwa itu. Di pesantren saya, atmosfernya penuh harap. Seorang teman bahkan mengikuti lomba lari 10K sambil meneriakkan nama “Khomeini” di garis finis—itulah bentuk simpati tulus yang lahir dari umat pada masa itu.

Namun, muncul pertanyaan penting: apakah serangan Iran ke Israel hari ini benar-benar cerminan keinginan murni membela umat dan menentang kezaliman? Atau ada dinamika politik dan identitas sektarian yang belum kita cermati secara utuh?

Catatan Sejarah: Iran dan Sikap Ambigu terhadap Israel

Perlu dicatat bahwa sejak berdirinya negara Israel pada 1948 hingga tahun 2025 ini, Iran belum pernah secara langsung menyerang Israel—kecuali setelah terjadinya serangan balik dari Israel yang menghantam wilayah Teheran. Dalam periode kekuasaan kaum Mullah selama lebih dari 45 tahun, Iran justru lebih aktif terlibat dalam konflik dengan negara-negara Muslim lainnya seperti Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman.

Selama bertahun-tahun, rudal Iran diarahkan ke Baghdad, Idlib, Aleppo, Riyadh, dan Dammam—semuanya kota-kota Muslim. Namun, tidak pernah sekalipun rudal tersebut diarahkan ke Tel Aviv—hingga saat kehormatan nasional Iran diserang.

Jejak Lama Ketegangan Sunni-Syiah

Ketegangan ini bukan hanya soal peristiwa geopolitik modern, tetapi juga berakar pada dinamika sejarah panjang. Di era Kekhalifahan Fathimiyah (dinasti Syiah di Mesir), umat Sunni dilarang berziarah ke Yerusalem. Kaum Sunni dipaksa mengikuti doktrin Syiah, dan siapa pun yang menolak untuk menghina sahabat Nabi akan diintimidasi atau bahkan disiksa.

Hal serupa terjadi pada masa Dinasti Shafawiyah di Iran. Mereka justru menyerang Kesultanan Turki Utsmani yang saat itu sedang sibuk menghadapi ekspansi Eropa di barat. Setiap kali Utsmani mencoba memperkuat perbatasan atau mempertahankan wilayah dari invasi Kristen, Shafawiyah menyerang dari arah timur. Baghdad dan Basrah menjadi saksi pembantaian atas umat Sunni. Ini menyebabkan Turki harus menarik pasukannya dari barat dan menghentikan ekspansinya ke Eropa, yang berdampak besar pada kemunduran kekuatan Islam kala itu.

Jika semangat membela umat yang menjadi motivasi utama, mengapa kekuatan militer Iran saat itu tidak diarahkan ke wilayah non-Muslim di utara atau timur? Kenapa justru menyerang sesama wilayah Muslim?

Dinamika Modern: Politik yang Sama, Strategi yang Berbeda

Fakta lain yang tidak kalah mencolok adalah dukungan Iran terhadap Amerika Serikat saat invasi ke Afghanistan dan Irak. Iran mendukung serangan terhadap Saddam Hussein dan bahkan bersikap permisif terhadap keberadaan pasukan AS di wilayah sekitarnya. Dalam konflik internal Suriah, Iran menjadi aktor utama yang mendukung penuh rezim Bashar al-Assad, meskipun artinya harus berdiri di balik pembantaian dan pengusiran jutaan warga Sunni Suriah.

Jejak sejarah dan rekam jejak geopolitik Iran ini tidak bisa diabaikan. Karena itu, wajar bila umat Sunni tetap waspada dan tidak serta-merta menganggap Iran sebagai pahlawan baru dunia Islam.

Serangan rudal ke Israel mungkin menimbulkan rasa puas, tapi bagi sebagian umat, itu hanyalah bentuk frustrasi terhadap pemimpin-pemimpin Sunni yang dinilai terlalu tunduk kepada Barat. Kegembiraan umat sebenarnya lebih mirip sindiran emosional terhadap kepasifan politik negara-negara Islam lainnya.

Catatan Akhir

Pakar pemikiran Islam dari Qatar, Jasim Sultan, pernah mengingatkan agar umat tidak melihat konflik dengan Iran hanya sebagai perbedaan mazhab. Ia menyebut bahwa konflik ini telah berkembang menjadi krisis darah dan kehancuran yang berlangsung terus-menerus dalam setengah abad terakhir—jauh melampaui sekadar perdebatan teologis.

Apa yang kita saksikan hari ini, baik dari Israel maupun Iran, adalah dua kutub kekuatan yang sama-sama meninggalkan jejak kelam di dunia Islam. Yang satu melakukannya atas nama ideologi politik dan superioritas militer; yang satu lagi sering kali melakukannya atas nama kekuasaan sektarian.

Sudah saatnya umat Islam membaca realitas secara utuh—bukan hanya dengan perasaan, tapi juga dengan pengetahuan sejarah dan kesadaran geopolitik yang jernih.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top